Minggu, 07 Oktober 2007

Momen 1 Syawal



Salah satu momen penting 1 Syawal adalah: Mengagungkan Asma Allah dan bartakbir. Saling bersilaturrahim. Menyambungkan tali persaudaraan
Rina Abdul Latif
Sebentar lagi 1 Syawal tahun hijriyah. Orang-orang menyebutnya Lebaran. Orang Melayu menyebutnya Hari Raya Idul Fitri. Yang menjadi ciri pada hari ini tentu ifthar, yang orang sering menyebutnya buka puasa atau bagi orang Melayu, mecah puasa dari berpuasa sebulan penuh. Pada hari ini orang-orang Islam tidak lagi berpuasa. Pagi-pagi disunnahkan makan sebelum melaksanakan shalat Idul Fitri.
Shalat Idul Fitri, yang sering disingkat orang dengan shalat Id, adalah keistimewaan berikutnya. Hanya pada hari inilah orang-orang Islam melaksanakannya. Maka shalat dua rakaat ini pun disebut shalat Idul Fitri. Orang-orang Islam di seluruh dunia –terlepas dari perbedaan penentuan harinya-melaksanakan shalat sunnah yang sangat dianjurkan Nabi terakhir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ini.
Bertakbir, atau orang Jakarta menyebutnya takbiran, adalah hal istimewa lainnya pada hari ini. Sejak malam sampai pagi menjelang shalat Idul Fitri, lingkungan di mana orang-orang Islam tinggal, menggemakan takbir, mengagungkan nama Allah. Udara nampak penuh dengan suara takbir, langit seolah memantulkan gemanya. Banyak air mata orang-orang berlinang pada saat-saat itu, merasakan kebesaran Allah.
Selepas shalat Id orang-orang biasanya melakukan aktivitas yang sudah lama mereka tunggu-tunggu: saling bersilaturrahim. Menyambungkan tali persaudaraan. Melapangkan dada atas segala ganjalan hubungan kekeluargaan dan sosial. Menyapa keponakan dan cucu. Bahkan kerabat-kerabat jauh yang lama tidak berjumpa, bahkan yang mungkin belum pernah berjumpa sebelumnya, maka hari raya Idul Fitri ini sering dijadikan kesempatan untuk bertemu. Semarak dan menyenangkan.
Suasana lebih berwarna-warni lagi dengan tampilan pakaian yang dipakai orang-orang. Pada umumnya pakaian baru telah disiapkan untuk menyambut hari besar ini. Juga beraneka masakan dan makanan yang lebih banyak dan bervariasi dari hari-hari sebelumnya. Semua orang ingin menyenangkan orang lain pada hari ini. Tentu saja salah satunya dengan aneka ria makanan ini. Suasana memang benar-benar berbeda.
Begitulah suasana yang dirasakan orang-orang Islam pada kondisi normal. Tentu berbeda dengan kondisi mereka yang tertimpa musibah.
Kondisi umum ini dapat nampak dan terasa begitu kita berada di tengah-tengah masyarakat atau komunitas orang-orang Islam. Tentu dengan bentuk dan volume yang berbeda antara satu budaya dengan budaya lain yang berbeda.
Ada sesuatu yang tidak nampak langsung di permukaan pada hari raya Idul Fitri ini, namun sangat menentukan arah hidup pada hari-hari, bulan-bulan, bahkan tahun-tahun sesudah itu. Energi untuk berubah! Sebuah energi yang dihasilkan dari akumulasi tempaan selama dua puluh sembilan atau tiga puluh hari bulan Ramadhan.
Kalau baju-baju lebaran masih dapat terlihat bagusnya dan dapat dipakai untuk acara-acara kekeluargaan lainnya beberapa waktu setelah hari lebaran, dan kalau kue-kue hari raya pun masih bisa dicicipi beberapa pekan setelahnya, berbeda halnya dengan energi Idul Fitri yang terbentuk dari penggodokan dan penempaan diri selama Ramadhan ini. Pengaruhnya dapat terasa sampai setahun setelahnya, atau bertahun-tahun, bahkan mungkin seumur hidup, jika energi itu sangat kuat dan mampu mengubah arah hidup dan mengangkatnya.
Jika secara fisik, orang-orang Islam berpuasa pada bulan Ramadhan, dan berifthar (tidak berpuasa) setelah Ramadhan berakhir, maka secara jiwa, jika jiwa itu pun turut berpuasa, sesungguhnya ia sedang banyak makan pada bulan Ramadhan. Banyak meraup energi, mengumpulkannya dan siap dipancarkan dengan cemerlang setelah Ramadhan berakhir.
Pancaran itu adalah karya-karya amal shalih. Atau minimal langkah-langkah yang telah dibuat untuk melahirkannya. Dengan kata lain, 1 Syawal adalah momen perubahan gerak diri ke arah yang lebih baik. Jika satu komunitas muslim melakukan ini, maka ia akan menjadi sebuah gerak masyarakat ke arah yang lebih baik.
Setiap orang Islam perlu membuat gambaran bagi dirinya tentang apa yang ia inginkan terhadap dirinya di masa yang akan datang. Karena sebenarnya setiap orang ingin perbaikan kualitas diri dan kemajuan. Tentu saja bagi orang Islam, menjadi lebih baik berarti menjadi lebih shalih, lebih berkualitas dan lebih banyak lagi memberikan manfaat untuk orang lain. Tentu hal itu menuntut konsentrasi tersendiri.
Ramadhan adalah ruang waktu untuk merenungkan diri. Maka 1 Syawal adalah momentum untuk mulai membekali diri. Ramadhan adalah saat-saat di mana kita mengevaluasi diri, maka hari raya Idul Fitri adalah start awal untuk berbuat dan berkarya lagi di lapangan perbaikan diri dan amal shalih. Dan jika Ramadhan adalah masa bagi kita untuk memohon pertolongan Allah untuk segala kebaikan di masa depan, 1 Syawal adalah saat di mana kita menentukan arah ke depan dan menyusun cita baru.
Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk memiliki perencanaan diri. Memiliki perencanaan diri berarti memperbanyak karakter-karakter baik dan menyedikitkan karakter-karakter buruk bahkan berusaha menghilangkannya sama sekali, seperti sifat malas yang sering menjadi sumber keburukan lainnya sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun memohon perlindungan Allah agar terhindar dari sifat itu, memperbaiki kualitas dan kuantitas ibadah, membaguskan sikap dan perilaku dalam hubungan sosial, sungguh-sungguh belajar dan mencari ilmu, dan sebagainya.
Kita tidak tahu kapan kematian menjemput kita karenanya kita harus selalu membekali diri menghadapinya. Bagi seorang muslim masa depan bukan hanya sekedar hari-hari yang akan dilaluinya ke depan di dunia ini, tetapi juga hari-hari yang akan dilaluinya setelah ia mati yaitu hari yang tiada ujungnya (abadi).
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

(QS. Al Hasyr 59: 18)

Penulis akan melanjutkan studi pada jenjang S2 di Universitas Al-Azhar, Kairo

Tidak ada komentar: